Gerakan Agustus 2025: Ketika Rakyat Menjadi Guru bagi Para Wakilnya

- Reporter

Minggu, 31 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mahasiswa Filsafat UI, Arya Bangsa Satyamahendra. (foto/dok.pribadi)

Mahasiswa Filsafat UI, Arya Bangsa Satyamahendra. (foto/dok.pribadi)

INISIALID, JAKARTA-Apa yang kita saksikan di jalanan ibu kota dan sejumlah kota besar lainnya bukanlah sekadar amuk massa. Ini adalah kuliah umum terbesar dalam sejarah demokrasi kita. Kampusnya adalah jalanan, dosennya adalah rakyat yang lapar dan lelah, dan materinya adalah pelajaran tentang empati dan tanggung jawab.

Para anggota DPR yang berlagak bak raja di gedung mewah Senayan mungkin lupa. Mereka lupa bahwa tunjangan yang mereka naikkan sendiri itu berasal dari uang rakyat yang sedang bersimbah peluh. Mereka lupa bahwa kemewahan mobil dinas dan jamuan makan mereka adalah pantulan dari jerih payah buruh yang upahnya tak kunjung naik dan driver ojol yang mengejar setoran hingga larut malam.

Pertemuan Gerakan: Sebuah Simfoni Perlawanan

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Inilah keindahan sekaligus kekuatan dari Gerakan Agustus 2025: ia tidak berdiri sendiri. Ia adalah konfluensi, pertemuan arus kesadaran dari berbagai kelompok yang selama ini dipinggirkan. Mahasiswa dengan idealismenya dan kemampuan analisisnya. Buruh dengan tuntutan nyata akan upah yang layak dan jaminan hidup. Serta para pengendara ojol yang menjadi simbol ekonomi gig yang penuh ketidakpastian.

Mereka bukan lagi tiga entitas yang berbeda. Mereka telah melebur menjadi satu suara: suara rakyat yang ditelantarkan. Spanduk-spanduk mereka bercerita tentang hal yang sama: kenaikan harga sembako, premi BPJS yang kian memberatkan, dan ketiadaan lapangan kerja bagi lulusan baru. Ini adalah bahasa yang nyata, bahasa perut yang kosong, yang ternyata tidak dimengerti oleh para wakil rakyat yang bahasanya adalah bahasa proyek dan komisi.

Dari Aspirasi ke Aksi: UU yang Dijegal, Rakyat yang Dikhianati

Mereka menyebut kami anarkis. Tapi apa yang lebih anarkis daripada menjegal RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah diperjuangkan puluhan tahun? Apa yang lebih anarkis daripada mengesahkan UU yang berpihak pada pemodal besar dan mengabaikan UU yang melindungi kaum marjinal?

Gerakan kami bukan muncul dari vacuum. Ia adalah respons logis dari sebuah sistem yang memutuskan hubungan dengan konstituennya. Sejumlah gerakan Civil Society, sejak 2024, telah membawa draft-draft akademik, melakukan dialog, dan menyuarakan aspirasi dengan cara-cara elegan. Tapi apa balasannya? Telinga-telinga yang tuli dan pintu-pintu yang tertutup.

Jalanan kemudian menjadi parlemen alternatif. Jika suara kami tidak didengar di ruang komisi yang ber-AC, maka kami akan menyampaikannya di terik matahari dan hujan. Jika argumentasi kami dianggap angin lalu, maka kami akan menunjukkan bahwa jumlah massa adalah bukti bahwa kami adalah representasi nyata dari kedaulatan rakyat.

Pelajaran dari Agustus 2025

Gerakan ini mengajarkan satu hal mendasar: kedaulatan rakyat bukanlah konsep usang dalam buku teks. Ia hidup, bernafas, dan suatu saat bisa bangkit dengan marah jika diinjak-injak. Pongahnya segelintir oknum legislatif telah membangunkan raksasa tidur yang bernama solidaritas sosial.

Mereka mungkin bisa bersembunyi di balik gedung berkawat tinggi, dikawal oleh aparat. Tapi mereka tidak bisa bersembunyi dari suara bising sejarah yang mencatat setiap pengkhianatan mereka. Gerakan Agustus 2025 adalah pengingat keras: kursi dewan adalah amanah, bukan warisan. Dan rakyat, pada akhirnya, adalah guru yang paling kejam bagi mereka yang lupa daratan.

Pertunjukan arrogance mereka telah usai. Sekarang adalah waktunya untuk pertunjukan accountability. Gerakan ini tidak akan berhenti sampai ada langkah konkret: cabut kenaikan tunjangan yang tidak sensitif itu, percepat pengesahan RUU yang pro-rakyat, dan yang terpenting, kembalikan hati dan nurani untuk mendengar jeritan rakyat yang sedang susah.

Kami tidak meminta belas kasihan. Kami menuntut keadilan. Karena seperti kata pepatah filsafat, diamnya orang yang terdzalimi adalah doa yang akan dijawab oleh semesta. Dan pada Agustus 2025 ini, semesta menjawabnya dengan gegap gempita di seantero negeri. (***)

(Penulis: Arya Bangsa Satyamahendra, Mahasiswa Filsafat UI)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Triga Lampung Kembali Demo Lahan HGU PT SGC di Senayan, Hanan cs Dimana?
Waduh, Ternyata Lahan HGU PT SGC di Lampung Milik Kemenhan RI
PWI Lampung Sambangi Monumen Pers Nasional di Surakarta
Pengurus PWI Pusat Dilantik, Tiga dari Lampung
Integritas ASN Kejaksaan Jadi Fondasi Kepercayaan Publik
PWI Pusat Kembali Tempati Lantai 4 Gedung Dewan Pers
Kejagung Dorong Penerapan Anti Money Laundering Untuk Bank Pembangunan Daerah
Gerak Cepat Prabowo Subianto dan Jalan Lapang Reformasi 2025
Berita ini 11 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 13 Oktober 2025 - 15:46 WIB

Triga Lampung Kembali Demo Lahan HGU PT SGC di Senayan, Hanan cs Dimana?

Senin, 13 Oktober 2025 - 15:28 WIB

Waduh, Ternyata Lahan HGU PT SGC di Lampung Milik Kemenhan RI

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 14:58 WIB

Pengurus PWI Pusat Dilantik, Tiga dari Lampung

Selasa, 30 September 2025 - 18:29 WIB

Integritas ASN Kejaksaan Jadi Fondasi Kepercayaan Publik

Kamis, 25 September 2025 - 20:04 WIB

PWI Pusat Kembali Tempati Lantai 4 Gedung Dewan Pers

Berita Terbaru

RLH, terpidana korupsi dana PNPM yang menjadi buronan berhasil diamankan Tim Intelijen Kejati Lampung. (foto: ist)

Bandarlampung

Kejati Lampung Tangkap Buronan Kasus Korupsi PNPM

Selasa, 14 Okt 2025 - 21:51 WIB

Ketua Umum DPP Akar, Indra Mustain didampingi Koordinator Aliansi Keramat, Sudirman Dewa di depan kantor Kementerian ATR/BPN RI, Senin (13/0/10/2025). (foto: Doni/dok.inisial.id)

Nasional

Waduh, Ternyata Lahan HGU PT SGC di Lampung Milik Kemenhan RI

Senin, 13 Okt 2025 - 15:28 WIB

error: Content is protected !!